Pada bulan lalu booming berita terkait pembunuhan
berencana Brigadir J yang ditembak oleh Bharada E dirumah dinas Kadiv
Propam Irjen Pol Ferdy Sambo di kawasan Duren Tiga, Jakarta Selatan, pada
Jumat (8/7/2022) sekita pukul 17.00 WIB. Diketahui Brigadir J merupakan supir
istri, Ferdy Sambo. Sedangkan Bharada E adalah ajudan dari Ferdy Sambo.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengagendakan
pemeriksaan terhadap cyber Polri dan digital forensik. Salah
satu hal penting yang bakal didalami Komnas HAM adalah terkait isi telepon
genggam milik Brigadir J dan telepon
genggam Kadiv Propam Polri nonaktif Irjen Ferdy Sambo beserta
istrinya P dan semua pihak yang terkait dengan peristiwa ini turut ditelusuri.
Selain itu terkait kamera pengawas atau CCTV di sekitar
lokasi dan rumah Ferdy Sambo juga akan ditelusuri Komnas HAM ke tim digital
Forensik Polri. Termasuk kabar yang menyebut CCTV diganti dan decorder CCTV
yang rusak di rumah Ferdy Sambo yang menjadi lokasi penembakan.
Diketahui proses penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM terus
bergulir. Mereka telah memeriksa enam aide de camp (ADC) atau ajudan dari Kadiv
Propam Polri nonaktif Irjen Ferdy Sambo, termasuk Bhrada E.
Komnas HAM telah melakukan pemeriksaan terhadap mantan Kadiv
Propam Polri, Irjen Ferdy
Sambo beberapa waktu lalu di Rutan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok.
Dari pemeriksaan yang dilakukan tersebut, Komnas HAM membenarkan bahwa yang
bersangkutan memerintahkan untuk menghalangi proses penyidikan.
"Dia mengakui dua hal. Dia yang merencanakan pembunuhan.
Kedua, dia yang menjadi otak obstruction of justice dengan merusak TKP,
menghilangkan barang bukti, membuat skenario seolah-olah ada kekerasan seksual
di rumah dinas," ujar Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik kepada MPI,
Sabtu (20/8/2022).
Merusak atau menghilangkan barang bukti dapat pula
dikualifikasikan sebagai dugaan tindak pidana. Pengaturan delik pidana terkait
tindakan tersebut di antaranya dapat dilihat pada Pasal 221 ayat (1) angka 2
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana). Pelaku diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan bulan dan denda. Pasal 221 ayat (1) KUH Pidana
selengkapnya menyatakan: "Diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
Barang siapa setelah dilakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk
menutupinya, atau untuk menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan atau
penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda
terhadap mana atau dengan mana kejahatan dilakukan atau bekas-bekas kejahatan
lainnya, atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat kehakiman
atau kepolisian maupun oleh orang lain, yang menurut ketentuan undang-undang
terus menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan
kepolisian." Kemudian, apabila tindakan perusakan atau penghilangan barang
bukti dilakukan melalui sarana elektronik, perlu diingat bahwa terdapat
peraturan khusus yang dapat dirujuk, yakni UU No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Eletronik –regulasi ini telah diubah dengan UU No. 19
Tahun 2016— (UU ITE). Salah satu pasal yang dapat dirujuk untuk menindak pelaku
perusakan atau penghilangan barang bukti melalui sarana elektronik adalah Pasal
32 ayat (1) UU ITE yang menyatakan: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa
hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi,
melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik orang lain atau milik
publik." Sehubungan dengan pelanggaran pasal tersebut, di Pasal 48 ayat
(1) UU ITE memberikan ancaman pidana penjara paling lama 8 tahun dan denda
paling banyak Rp 2 miliar.
Komentar
Posting Komentar